Jumat, 13 November 2009

Tentang Krisis Ilmu Pengetahuan & Pemikiran

03-01-2004 / 01:06:00
Tentang Krisis Ilmu Pengetahuan & Pemikiran

Sekitar tahun 30-an, seorang ulama Indonesia, Syekh Muhammad Basyuni Imran, Imam kerajaan Sambas, Borneo, Indonesia, melayangkan sepucuk surat kepada yang mulia Al-Amir Syekh Syakib Arsalan dengan perantara Syekh Rasyid Ridha, pimpinan Majalah Al-Manar di Mesir. Isi surat tersebut, intinya adalah pertanyaan dari beliau mengapa kaum muslimin dalam keadaan lemah dan mundur, baik urusan keduniaannya maupun urusan keagamaannya, dan mengapa bangsa-bangsa lain seperti Eropa, Amerika, dan Jepang memperoleh kemajuan yang mengagumkan. Sebagai seorang ulama dan pejuang Islam yang alim dan bijak, Syekh Syakib Arsalan tidak serta merta menjawab surat tersebut dengan ala kadarnya. Beliau dengan penuh perhatian dan penuh tanggung jawab, setelah mengadakan pengamatan dan penelitian yang dalam, menjawab surat tersebut dengan menyodorkan sebuah buku yang sangat terkenal, yakni Limadza Ta’akhkhara al-Muslimun wa Taqaddana Ghairuhum? (Mengapa kaum muslimin mundur dan selainnya maju?), (1976) Beliau mengungkapkan penyebab kemajuan umat terdahulu, menganalisa penyebab kemunduran umat, dan berusaha memberikan solusinya. Kesadaran akan kemunduran kaum muslimin tidak hanya dirasakan Syekh Bayuni’ Imraan dan Syakh Syakib Arsalan, tetapi juga oleh para ulama pada umumnya. Ini terbukti dengan terbitnya berbagai buku yang menganalisis kondisi kemunduran kaum muslimin dan mencari penyebabnya, misalnya : Al-Urwah Al-Wutsaqa karangan Sayyid Jamaluddin Afghani; Al-Islam wa An-Nasharaniah tulisan Syek M. Abduh; Thaba-i’ Al-Isyibdaad dan Umm Al-Quran karangan Sayid Abdurahman Kawakibi. Kemudian terbit tulisan Abdul Qadir Audah, Islam di antara Kebodohan Umat dan Kelemahan Ulama (1981), dan Sayid M. Wakil, Islam di Antara Kebodohan Pemeluknya dan Tipu Daya Musuhnya (1986). Kemunduran yang melanda kaum muslimin begitu akut dan memprihatinkan. Ismail Raji Faruqi menyebutkan sebagai “malaise�. Ia mengatakan, “umat kini berada dalam ancaman malaise yang gawat, dan dunia Islam pada saat ini berada di anak tangga bangsa terbawah.� Abdul Qodir Audah mengatakan, “kini kaum muslimin sudah tenggelam dalam kealpaan; lupa pada keduniaannya.� Sedangkan Jamal Sulthan mengungkapkannya sebagai “krisis peradaban yang menyeluruh� atau “masyarakat yang kehilangan identitas�. Kemudian ia menegaskan, “inilah dasar dan biang penyakit.� Apabila direnungkan lebih dalam, bentuk krisis yang sangat mendasar dari keadaan yang memprihatinkan di atas adalah persoalan pemahaman dan pemikiran terhadap Islam. Menurut Said Ramadhan Al-Buthi, krisis ini berupa krisis ilmu pengetahuan dan pemikiran. Ia mengatakan, “Saya kira, semua krisis dan problem peradaban yang diderita oleh umat manusia modern bersumber dari problem besar yang umum ini, yaitu problem pengetahuan.� (Abu Sulaiman 1994). Wujud keadaan umat yang tampaknya juga bisa menjadi unsur penyebab, menurut Syakib Arsalan, yang terpenting di antaranya dapat disebutkan sebagai berikut: 1. Kebodohan yang mengakibatkan tidak dapat membedakan antara yang haq dan yang batil. 2. Berpengetahuan tanggung, yang bahayanya lebih buruk daripada kebodohan 3. Kejahatan moral dan kerusakan budi pekerti para tokoh dan pimpinan. 4. Adanya ulama yang lebih suka mendekatkan kepada para penguasa yang terkenal pemberani dan tidak takut mati. Di samping itu hal-hal tersebut, Syakib Arsalan juga menambahkan adanya sikap jumud (stagnan) yang mempunyai banyak implikasi bagi umat, misalnya membuka peluang bagi musuh untuk memerangi kemajuan Islam, menyebabkan maraknya kemiskinan, menghambat kemajuan di bidang pengetahuan duniawi, tenggelam dan surutnya referensi Islam sejati (Al-Quran dan Sunnah), membuka peluang lahirnya muslim yang anti Islam, menghancurkan Islam dengan dalil Al-Quran dan Hadis Nabi, dengan fakta yang diputarbalikan menurut keinginan bahwa nafsunya, lalu menjadi hujatan bagi musuh Islam untuk menghantam Islam. Tentang sebab kemunduran umat ini juga dikemukakan oleh ulama lain, di antaranya adalah adanya pemisahan antara aql dan naql (Thoha Jabir Alwani), lepasnya kendali mental terhadap akal (Said Ramadhan Al-Buthi, M. Wakil), dualisme pendidikan (Al-Faruqi, M, Natsir), dan bercampuraduknya pemikiran dengan unsur paganisme Yunani atau Barat (Thoha Jabir Alwani). Tidak kalah pentingnya adalah pemunduran kaum muslimin yang disengaja dan diupayakan dengan segala cara dan sekuat tenaga oleh musuh-musuh Islam. Mereka melancarkan ghazwulfikri. Di antara tipu daya itu, menurut Al-Wakil dan Ismail Faruqi, adalah melalui dualisme pendidikan (Islam dan Barat Sekuler). Menurut Malik bin Nabi, stagnasi ini dapat menjadikan umat berada dalam posisi “siap untuk dijajah “(qabiliyah lil isti’mar), atau menurut Ibnu Qayim, kejumudan memaksa banyak orang untuk mengambil konsep-konsep buatan manusia (wadh’iyah) di luar syariat. Beberapa faktor yang menyebabkan kaum muslimin dahulu bisa memegang kendali kepemimpinan dunia dikemukakan oleh Abul Hasan Ali An-Nadwi (1984), yaitu (1) mereka memegang teguh kitab yang diturunkan dari langit dan menjalankan syariat yang telah ditetapkan Allah; (2) mereka melaksanakan hukum dengan akhlak dan jiwa yang bersih; (3) mereka berusaha dan berjuang semata-mata untuk mengeluarkan manusia dari penyembahan terhadap sesamanya menuju penyembahan terhadap Allah; (4) mereka berusaha menjadi manusia yang seimbang. Setelah mengetahui keadaan umat seperti di atas, tentunya kita akan bertanya, bagaimana agar kaum muslimin kembali ke kejayaannya sebagai mana para pendahulunya. Dihadapkan pada pertanyaan demikian, tentu akan sulit menentukan jawaban, dari mana harus memulai. Namun bagaimana pun, harus ada upaya yang dilakukan. Menarik sekali apa yang disampaikan oleh Syakib Arsalam mengenai upaya tersebut, yakni dengan bersungguh-sungguh dalam mengikuti dan mentaati Islam, sebagaimana para pendahulu telah mengikuti dan mentaatinya. Beliau mengutip ayat dalam Al-Ankabut: 65, “Barang siapa yang bersungguh-sungguh (jihad) di jalan kami, sungguh akan Kami tunjukkan jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah sungguh beserta orang-orang yang baik (muhsinin). Di samping upaya penyadaran terhadap umat melalui tulisan, ada upaya besar melalui gerakan dakwah, misalnya Ikhwanul Muslimin (1928) di Mesir yang konsep dakwahnya integral dan menyeluruh, yang didirikan oleh Syekh Imam Hasan Al-Banna; Jamiat Islami (1941) di Pakistan oleh Abul A’la Maududi; Jemaah Tabligh di India oleh Syekh M. Ilyas Kandahlawi; Hizbut Tahrir (1952) di Palestina oleh Syekh Taqiyuddin Nabbani; dan lain-lain. Senada dengan Syakib Arsalan, menurut Abdul Qodir Audah, agar umat kembali bangkit, mereka harus memiliki kemauan yang keras dan keberanian berkorban, melakukan proses pembelajaran secara terencana agar mengerti syariat Islam, juga berjuang dengan penuh semangat dan keberanian (syaja’ah). Singkatnya, untuk dapat meraih kepemimpinan lagi, umat Islam harus melakukan jihad dan ijtihad (Abul Hasan Ali An-Nadawi, 1984). Perlu disadari bahwa untuk dapat meraih kepemimpinan dengan jihad dan ijtihad tidak mudah terwujud, kecuali kaum muslimin memiliki pemahaman yang baik dan mendalam tentang Islam serta memiliki pemikiran yang bersih dan brilian; tersatukannya aql dan naql, terbimbingnya akal oleh akidah dan akhlakul karimah, dan konsistensi para ulama sebagai warasatul ambiya’ pewaris para nabi) yang senantiasa takut kepada Allah. Dengan kata lain, melalui jalan tersebut, problema besar berupa krisis pengetahuan dan pemikiran dapat teratasi. Untuk itu, “Tidak ada harapan akan kebangkitan yang sungguh-sungguh dari umat, kecuali sistem pendidikan diubah dan kesalahan-kesalahannya diperbaiki,� (Ismail Furuqi, 1984). Artinya, dualisme pendidikan hendaknya segera ditinjau ulang secara kritis, kemudian dikembalikan kepada sistem pendidikan yang Islami, sistem pendidikan yang utuh, integral, dan menyeluruh dengan memperhatikan tahapan dan perkembangan peradaban manusia. Dengan demikian, Insya Allah, apa yang diserukan oleh Muhammad Iqbal untuk membangun kembali pemikiran agama dan Islam akan dapat terealisasi dan tegak di atas landasan akidah yang bersih dan kuat serta akhlak yang tinggi dan mulia. Di samping itu, menurut Said Ramahdan Al-Buthi, perlu penyatuan kembali antara akal dan wahyu (aql wa naql), yang dengannya kecerdasan dapat diwujudkan; proyek kebangkitan ilmu atau revolusi pengetahuan dapat ditegakkan; dan kaidah-kaidah penelitian keilmuan dapat ditanamkan. Jika yang demikian dapat diupayakan, maka optimisme akan terwujudnya azzul islam wa al-muslimin, kejayaan kembali umat, bukanlah angan-angan kosong, Insya Allah. Kepada para generasi muda Islam dan para aktivis dakwah, semua beban dan amanah tersebut diharapkan dapat dipikul dengan penuh semangat dan tanggung jawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar